BAGIKAN BERITA – Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan (RUU KIA FHPK) resmi disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa, 4 Juni 2024. UU KIA FHPK ini mengatur ketentuan cuti bagi ibu hamil dan suami yang mendampingi istri selama masa persalinan dengan rincian yakni setiap ibu berhak mendapat cuti selama tiga bulan pertama dan dapat ditambah tiga bulan berikutnya jika terdapat “kondisi khusus” yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Selain itu, dalam UU KIA FHPK, suami wajib mendampingi istri selama masa persalinan dengan pemberian hak cuti selama dua hari, dan dapat diberikan tambahan tiga hari berikutnya atau sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Dewan Pimpinan Provinsi Asosiasi Pengusaha Indonesia (DPP APINDO) Jawa Barat Ning Wahyu Astutik, menyampaikan pandangan organisasi terkait undang-undang yang baru disahkan ini.
Ning menyatakan bahwa APINDO Jabar mendukung upaya pemerintah dalam menjamin kesejahteraan ibu dan anak, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan. Dukungan ini sejalan dengan program APINDO Nasional yang berpartisipasi dalam menurunkan prevalensi stunting di Indonesia.
Namun, Ning menyoroti beberapa poin yang memerlukan perhatian lebih lanjut. Pengusaha membutuhkan kejelasan mengenai indikator “kondisi khusus” yang tertera dalam undang-undang agar tidak terjadi multitafsir dalam penerapannya. Pengaturan ini termasuk ketentuan mengenai dokter spesialis yang menjadi rujukan bagi ibu hamil atau melahirkan.
Menurutnya, UU KIA FHPK berpotensi menambah beban baru bagi dunia usaha, terutama bagi perusahaan skala kecil. Perusahaan diwajibkan untuk membayarkan gaji pekerja yang cuti hamil secara penuh selama empat bulan pertama, kemudian 75% gaji untuk bulan kelima dan keenam.
“Perusahaan mungkin perlu merekrut dan melatih pekerja baru untuk menggantikan pekerja yang sedang cuti, yang dapat menimbulkan biaya tambahan,” ujar Ning.
Ning juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa UU KIA FHPK dapat berdampak pada produktivitas tenaga kerja, baik secara nasional maupun di Jawa Barat. Indonesia masih menghadapi masalah rendahnya tingkat produktivitas, di mana berdasarkan Human Capital Index tahun 2022, Indonesia berada di peringkat 96 dari 174 negara.
Baca Juga: Jadwal Acara Mentari TV Hari Ini Senin 10 Juni 2024 , Simak Cipung Abubu, Pokemon The Journey
Di Jawa Barat, tingkat produktivitas pada 2022 sangat rendah, yaitu peringkat ke-22 dari seluruh provinsi di Indonesia. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Jabar pada 2023 juga masih rendah, dengan TPAK perempuan sebesar 47,98% yang jauh lebih kecil dibandingkan laki-laki yang mencapai 84,63%. Disahkannya undang-undang ini dikhawatirkan memperkecil kesempatan bagi perempuan untuk bekerja karena dapat menurunkan tingkat produktivitas perusahaan.
APINDO Jabar menekankan pentingnya dialog sosial yang efektif antara pekerja dan pengusaha. Tujuannya adalah untuk menciptakan perlindungan pekerja perempuan dan juga keberlangsungan dunia usaha.
Kebijakan mengenai cuti hamil/melahirkan yang telah disepakati dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau Peraturan Kerja Bersama (PKB) di masing-masing perusahaan diharapkan tetap menjadi acuan bersama sepanjang belum diubah.
Dengan disahkannya UU KIA FHPK, diharapkan akan ada kolaborasi dan komunikasi yang baik antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja untuk mencapai keseimbangan antara kesejahteraan ibu dan anak serta keberlangsungan usaha di Indonesia.***