Hal yang sama juga ketika dilihat dari nominal anggaran yang dikucurkan pemerintah yang sangat jomplang, di mana usulan pupuk subsidi dari petani mencapai Rp 69,2 triliun. Sementara nominal yang disetujui oleh pemerintah hanya sebesar Rp 29,7 triliun.
"Karena itu, pertanyaannya adalah kalau kita melakukan subsidi itu kan perlu dikaji apakah subsidi pupuknya yang disubsidi atau kita perlu mencari mekanisme lain, sehingga lebih meringankan," jelasnya.
Faktor kedua yang menyebabkan kelangkaan pupuk subsidi kata Prof Tualar, adalah masih maraknya mafia pupuk. Mereka mempermainkan dan mengambil keuntungan besar dari subsidi pupuk tersebut untuk keuntungan pribadi.
Mafia pupuk ini muncul karena besarnya perbedaan harga pupuk subsidi (HET: Harga Eceran Tertinggi) dibandingkan harga komersil. Ia mencontohkan HET Urea sebesar Rp.2.250/kg.
Sementara harga domestik komersil saat ini Rp. 9.300 sampai dengan Rp 10.000 /kg. Belum lagi jika dibandingkan dengan harga Urea internasional di mana pada saat yang sama berkisar di harga Rp.14.300.
"Perbedaan ini tentu mendorong oknum yang tidak bermoral untuk mencari peluang mengambil keuntungan lebih dari kantong petani kecil," jelasnya.
Untuk mengatasi maraknya mafia ini, setidaknya ada dua langkah, yaitu penguatan peran tim pengawas (KP3) untuk minimalisir mafia dan penyimpangan distribusi dan pengunaan pupuk subsidi.
Dalam ketentuan, ada KP3 yang bertugas mengawasi. Tapi selama ini terbentur dengan anggaran yang menjadi keluhan tim KP3. Oleh karenanya, 0emerintah harus menganggarkan untuk tim pengawas (KP3).