Ini 4 Alasan Fraksi PKS Tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja Disahkan

- 5 Oktober 2020, 15:47 WIB
Anggota Baleg DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah
Anggota Baleg DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah //ISTIMEWA.

BAGIKAN BERITA - Fraksi PKS dan Demokrat menolak pengesahan RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang akan dibawa ke rapat Paripurna pada 8 Oktober 2020 mendatang. 

Sebanyak 7 fraksi xi DPR sudah menyetujui RUU Cipta dan tinggal disahkan. 

Dikutip Bagikan Berita dari Warta Ekonomi, Fraksi F-PKS menjelaskan alasan menolak RUU Cipta Kerja. 

Baca Juga: Trailer Sinetron Anak Band SCTV, Begini Peran Stefan William dan Natasha Wilona

"Berdasarkan berbagai pertimbangan yang kami sampaikan, Fraksi PKS menolak RUU Cipta Kerja untuk ditetapkan sebagai Undang-Undang," ujar anggota Baleg DPR-RI Fraksi PKS Ledia Hanifa Amaliah dalam Rapat Kerja Baleg DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta.

Menurut dia, FPKS menyadari substansi pengaturan yang terdapat dalam RUU Ciptaker memiliki implikasi yang luas terhadap praktik kenegaraan dan pemerintahan di Indonesia.

Oleh karena itu, dia menilai diperlukan pertimbangan yang mendalam apakah aspek formil dan materil dari undang-undang tersebut sejalan dengan koridor politik hukum kebangsaan yang disepakati bersama.

Ledia menjelaskan ada beberapa catatan FPKS DPR RI terkait RUU Ciptaker, pertama FPKS memandang pembahasan RUU itu pada masa pandemi COVID-19 menyebabkan terbatasnya akses dan partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan, koreksi, dan penyempurnaan terhadap RUU Cipta Kerja.

Baca Juga: Link Streaming Jodha Akbar Episode 18 Hari Senin 5 Oktober , Sedang Tayang

"Kedua, banyaknya materi muatan dalam RUU ini semestinya disikapi dengan kecermatan dan kehati-hatian. Pembahasan DIM yang tidak runtut dalam waktu yang pendek menyebabkan ketidakoptimalan dalam pembahasan. Padahal undang-undang ini akan memberikan dampak luas bagi banyak orang, bagi bangsa ini," ujarnya.

Ketiga, menurut Ledia, FPKS memandang RUU Cipta Kerja tidak tepat membaca situasi, tidak akurat dalam diagnosis, dan tidak pas dalam menyusun "resep" meskipun yang sering disebut adalah soal investasi.

Dia menilai pada kenyataannya persoalan yang hendak diatur dalam Omnibus Law bukan masalah-masalah utama yang selama ini menjadi penghambat investasi misalnya ketidaktepatan itu adalah formulasi pemberian pesangon yang tidak didasarkan atas analisa yang komprehensif.

"Hanya melihat pada aspek ketidakberdayaan pengusaha tanpa melihat rata-rata lama masa kerja pekerja yang di PHK sehingga nilai maksimal pesangon itu semestinya tidak menjadi momok bagi pengusaha," katanya.

Baca Juga: Link Streaming Jodha Akbar Episode 18 Hari Senin 5 Oktober , Sedang Tayang

Keempat, menurut dia, secara substansi sejumlah ketentuan dalam RUU itu masih memuat substansi yang bertentangan dengan politik hukum kebangsaan yang disepakati pasca-amendemen konstitusi.

Dia menjelaskan ketentuan-ketentuan yang ditolak dalam RUU Ciptaker adalah ancaman terhadap kedaulatan negara melalui pemberian kemudahan kepada pihak asing.

"Termasuk juga ancaman terhadap kedaulatan pangan kita RUU Cipta Kerja memuat substansi pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerugian terhadap tenaga kerja atau buruh melalui perubahan beberapa ketentuan yang lebih menguntungkan pengusaha. Terutama pada pengaturan tentang kontrak kerja, upah dan pesangon," ujarnya.

Baca Juga: Jelang Pengesahan RUU Cipta Kerja Omnibus Law, Ini Kata Pengusaha Soal Buruh Mogok Kerja

Dia menilai RUU Ciptaker memuat pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerusakan terhadap kelestarian lingkungan hidup misalnya dalam pasal 37 RUU Cipta Kerja terkait perubahan UU Kehutanan, ketentuan penyediaan luas minimum 30 persen untuk fungsi kawasan hutan dari Daerah Aliran Sungai (DAS) dihapus.

Menurut dia, RUU itu juga memberikan kewenangan yang sangat besar bagi pemerintah namun kewenangan tersebut tidak diimbangi dengan menciptakan sistem pengawasan dan pengendalian terhadap penegakan hukum administratifnya.

"Seyogianya apabila pemerintah bermaksud untuk mempermudah perizinan maka sistem pengenaan sanksinya harus lebih ketat dengan mengembangkan sistem peradilan administrasi yang modern," ujarnya. ***

Editor: Ahmad Taofik

Sumber: Warta Ekonomi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah