Kedua, di era "post-truth politics", ucapan pemimpin (presiden) hrs benar & jujur. Kalau tidak, dampaknya sgt besar. Ucapan Trump bhw pilpresnya curang (suaranya dicuri) timbulkan kemarahan besar pendukungnya. Terjadilah serbuan ke Capitol Hill yg coreng nama baik AS.
Baca Juga: Naca, Bocah 3 Tahun Sukses Bawa Atta Halilintar Ikut Goyang Bareng
Ketiga, "post-truth politics" (politik yg tdk berlandaskan pada fakta), termasuk kebohongan yg sistematis & berulang, pada akhirnya akan gagal. Pemimpin akan kehilangan "trust" dari rakyatnya, krn mereka bisa bedakan mana yg benar (faktual) dgn yg bohong (tdk faktual).
Keempat, tiap pemilu ada yg menang, ada yg kalah. Meskipun berat & menyakitkan, siapapun yg kalah wajib terima kekalahan & ucapkan selamat kpd yg menang. Itulah tradisi politik & norma demokrasi yg baik. Sayangnya, sbg champions of democracy, ini tdk terjadi di AS skrg.
Kelima, kali ini pergantian kekuasaan yg damai (smooth & peaceful) tak terjadi di AS. Transisi kekuasaan dibarengi luka, kebencian & permusuhan. Ini petaka bagi AS yg politiknya terbelah (deeply divided). Energi Biden bisa habis utk satukan AS hadapi tantangan ke depan.
Baca Juga: Secuil Kisah Surat Al Ikhlas yang bisa mengantarkan Kita ke surga
Keenam, jelang pelantikan Biden, Washington DC mencekam, banyak barikade & dlm pengamanan ketat 25.000 tentara. Siapa ancamannya ? Kali ini bukan musuh dr luar, spt biasanya, tapi "teroris domestik". Ini titik gelap dlm sejarah AS. Juga warisan buruk yg ditinggalkan Trump.
Ketujuh, setiap krisis selalu ada pahlawannya. Saya respek kpd Wapres Mike Pence yg tunjukkan karakter kesatrianya dgn menerima hasil Pilpres yg lalu meskipun kalah. Dia tolak “perintah” Trump utk ubah hasil pemilu krn tak berdasar. Dia hormati konstitusi & demokrasi.
Kedelapan, Pence bukan tipe yg haus kekuasaan. Dia tak memanfaatkan kesempatan utk ambil alih kepemimpinan meskipun."***