Presiden Jokowi juga disebut mengambil risiko untuk menurunkan harga gas bumi demi meningkatkan daya saing global tujuh kelompok industri. Penurunan harga gas itu dilakukan dengan mengurangi jatah pemerintah.
Selanjutnya dilakukan percepatan pembangunan pembangkit berbasis Energi Baru dan Terbarukan (EBT), seperti PLTA, tenaga surya, hingga panas bumi. Targetnya pada 2025 penggunaan EBT mencapai 23 persen.
3. Kontraksi Ekonomi Bukan Kartu Mati
Pandemi COVID-19 memang memukul perekonomian dunia. Indonesia pun terdampak, meski dangkal. Kuartal kedua 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi 5,3 persen.
Angka tersebut jauh lebih baik dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya, bahkan di antara negara G-20. Indonesia berada di peringkat ketiga di bawah Tiongkok dan Korea Selatan.
COVID-19 berdampak pada 3,5 juta pekerja terkena PHK atau dirumahkan, pengangguran naik menjadi 10,4 juta orang, angka kemiskinan meningkat menjadi 26,42 juta orang, terutama di perkotaan.
Dengan cadangan devisa 135,15 miliar dolar AS (September 2020), pemerintah masih mampu membiayai impor dan membayar utang luar negeri pemerintah selama 9,1 bulan. Rentang waktu tersebut lebih dari tiga kali lipat di atas standar internasional.
Baca Juga: Menyusup dan Bakar Ban, Segerombolan Massa Masuk ke Barisan BEM SI Saat Demo Tolak UU Cipta Kerja
Pemerintah masih terus mewaspadai cadangan devisa yang dimiliki dengan mempersiapkan potensi di sektor pariwisata melalui lima destinasi super prioritas yaitu Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo dan Likupang
Rasio utang pemerintah yang kurang dari 35 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), menunjukkan pengelolaan utang dengan prinsip kehati-hatian. Rating utang ini menunjukkan Indonesia masih layak sebagai tujuan investasi.